Just copy paste dari http://www.kompasiana.com/...
ini adalah transportasi yang gw gunain hampir setiap hari dan ratusan-ribuan orang per harinya...
selama ini, gw ga pernah terpikir mengecek fitur darurat karena jarak tempuh jalur ini cukup pendek...
hanya ngeh dengan fitur darurat ketika naek busway...krn awal2 transportasi ini berjalan bbrp kali terbakar...
dari semua transportasi umum, gw sangat cinta terhadap KRL karena waktu tempuh lebih pendek (as long as ga ada gangguan, kalau telat sih sudah sgt biasa).
Lucunya, belum lama ini, ketika kereta berjalan, pintu malah tiba2 terbuka, yg bikin gw aware untuk tidak menyender di pintu SEPENUH APAPUN DI KERETA....dan skr, ketika kecelakaan terjadi, malah ga bisa terbuka...
Semoga PT KAI terus melakukan perbaikan, tanpa ada alasan kalau tarif kereta sekarang lebih murah...dont say again "bayar murah kok mau enak".
Turut berduka cita untuk semua korban....
Suara pembaca salah satu korban kecelakaan kemarin...
Hei PT KAI! Fitur Darurat Tak Berfungsi! Kami Semua Hampir Mati!
HL | 10 December 2013 | 08:14 Dibaca: 603 5
Aku adalah salah satu korban dalam kecelakaan kereta api Bintaro. Bukan
Tragedi Bintaro di masa lalu, tapi kecelakaan yang terjadi kemarin.
Aku datang ke stasiun Pondok Ranji pukul 10.30 WIB, dikarenakan aku
sudah tahu jadwal kereta yang biasa aku naiki datang pukul 10.46 WIB.
Tiap hari aku naik kereta untuk berangkat kerja. Kantorku di daerah
Slipi, biasa turun di stasiun Palmerah atau Tanah Abang.
Kereta tumpanganku sedikit telat, sudah cukup terbiasa aku menerima
kenyataan itu. Semua orang Indonesia aku yakin juga sudah maklum kalau
ada ketidaktepatan waktu. Akhirnya, kereta datang pukul 11.05 WIB. Tanpa
ragu, aku naiki kereta itu seperti biasa. Tak ada firasat apa pun,
mungkin karena indera keenamku kurang peka.
Aku naik di gerbong wanita yang ada di paling depan. Tapi aku berdiri di
bagian belakang gerbong itu. Seperti biasa, selama perjalanan aku chat
sama teman-temanku di kantor yang aku tahu pasti juga bosan dalam
perjalanan. Dari chat itu, aku tahu kalau salah satu manajer kantorku
ada di kereta yang sama, hanya berbeda 1 gerbong dari gerbong yang aku
naiki.
Tak lama berselang, tiba-tiba terjadi hentakan begitu keras. Bunyinya
hampir tak kuingat karena kejadian yang begitu cepat. Dan saat pikiranku
belum bertanya lebih jauh, yang aku sadari adalah kereta sudah miring
ke kanan dari arah aku menghadap. Seketika aku sadar dan melihat
orang-orang bertumpukan di sebelah kananku. Di sebelah kiriku juga ada
orang-orang yang jatuh ke kanan, ke arahku.
Semua berteriak, panik, ketakutan. Aku pun begitu. Aku coba luruskan
badanku terhadap gravitasi, baru aku mampu mengambil kesimpulan, ini
adalah kecelakaan. Hal pertama yang aku cek adalah keadaan diriku
sendiri. Tas yang aku bawa sudah lepas entah kemana, begitu pula HP yang
tadi aku gunakan untuk chat. Jam tanganku copot tak tahu dimana.
Dan lagi-lagi aku tersadar, kami semua terkunci di dalam gerbong wanita
yang jomplang ke kanan. Sadar bahwa itu kecelakaan, tapi belum sadar
kalau gerbong kami menabrak tangki pertamina berisi bensin premium
ribuan liter.
Yang aku tahu, semua orang, khususnya yang berada di tumpukan paling
atas, yang ketika kereta berjalan ada di sebelah kiriku, mencoba membuka
pintu kereta api.
Ada yang berteriak “Pintu tidak terbuka. Pintu tidak terbuka. Kereta ini
rusak, seharusnya pintu terbuka dengan sendirinya kalau terjadi
kecelakaan,” teriak seseorang.
Lalu ada orang lainnya yang berteriak “Cari palu dekat pintu untuk hancurkan kaca,”.
Wanita-wanita yang ada di dekat pintu gerbong kami, yang berada di
tumpukan paling atas, mencari-cari palu tersebut. Alangkah terkejutnya
kami, tak ada satu pun palu darurat untuk pecahkan kaca yang tersedia di
gerbong kami.
Aku hampir putus asa mendengarnya, karena mendadak terdengar suara
ledakan kecil dan kami melihat api, lalu asap mulai masuk ke gerbong.
Aku sulit bernafas. Begitu juga yang lain.
Aku ketakutan sangat. Beberapa wanita yang ada di dekat kaca sebelah
kiri gerbong, mencoba pecahkan kaca dengan tangan, tas dan apapun yang
dirasa bisa digunakan.
Tak ada hasil. Retak pun tidak.
Suara tangis, orang dewasa, juga bayi yang ada di kereta itu, menambah ketakutanku. Kupikir “Inikah ajalku?”
Aku merinding, keringat dingin. Ingin menelpon mama tidak bisa, HP entah
dimana. Tak terpikir pinjam HP karena semua orang sedang fokus ingin
segera keluar dari kereta itu. Apalagi setelah adanya suara ledakan
pertama tadi.
Aku berdoa. Berharap ini bukan ajalku, bukan ajal kami semua yang ada di
dalam kereta itu. Mati karena terjebak dalam sebuah gerbong, hanya
karena pintu darurat tidak terbuka, palu darurat tidak tersedia.
Sungguh beruntung. Datang sang pahlawan yang sampai akhirnya pun aku
tidak tahu nama bapak itu. Dia ada di luar gerbong, dia berhasil
memecahkan kaca gerbong kiri dengan helm yang ia bawa. Lalu datang lagi
para lelaki yang membantu memecahkan kaca-kaca pada gerbongku.
Pecah, berlubang, kami pun keluar. Dan sungguh aku kaget melihat
semangat gotong royong para penumpang dan warga yang membantu kami mulai
dari pecahkan kaca, hingga mengeluarkan kami satu persatu.
Bayi-bayi yang ada di gerbong kami, secara gotong royong dikeluarkan
lebih dulu. Aku terharu, lalu yang terluka dan berada di tumpukan
sebelah atas, keluar setelah bayi dikeluarkan. Lalu yang masih normal
juga keluar, termasuk aku.
Lolos dari gerbong, aku langsung menuju tempat yang aman, di sekitar
situ. Menatap kereta dan gerbong yang mulai terbakar. Masih ada yang
berusaha dikeluarkan. Dan dari tempat ‘pengungsian’ itu pula aku baru
tahu kalau yang ditabrak adalah sebuah truk tangki yang membawa bahan
yang mudah terbakar. Aku pun menjauhh, takut jika sewaktu-waktu meledak.
Dalam hati aku berdoa semoga semuanya bisa dikeluarkan dari gerbongku. Karena pusat kebakaran adalah di gerbongku.
Usai berdoa, aku putuskan menjauh lebih jauh lagi dari lokasi, mencari
cara bagaimana bisa menghubungi mamaku. HP hilang, tas hilang, tak ada
identitas. Aku pun tak tahu apakah semua bisa dikeluarkan dari
gerbongku.
Lalu kulihat ada petugas kereta api, dikerumuni orang-orang yang mungkin
penumpang kereta yang sama juga. Mereka menanyakan bagaimana proses
asuransi. Petugas itu mengatakan “Kartu Keretanya dipegang kan? Karena
kalau tidak ada itu, harus dilakukan proses pembuatan kartu terlebih
dahulu dengan melampirkan KTP, baru proses asuransi bisa dilakukan”
Aku hanya bengong, karena kartu kereta ku ada di tas yang lenyap di
dalam kereta ketika momentum tabrakan terjadi. Dompet juga ada dalam
tasku, sehingga identitasku juga hilang.
Aku sadar, tak mungkin proses asuransi bisa dilakukan. Aku pun putuskan
ikhlaskan saja barang-barangku yang hilang. Nyawaku selamat. Itu yang
lebih penting. Dari dulu memang aku kurang percaya yang namanya
asuransi. Mereka tricky. Selalu cari cara agar klaim tidak dibayar.
Menjijikkan.
Dengan meminjam kepada seseorang di kerumunan itu, aku berhasil menelpon
mamaku. Kaget juga bersyukur. Dan mama papa langsung jemput aku dan aku
pun pulang.
Seharian aku hanya bengong. Sedih, takut, merasa hampir mati, tapi juga
senang dan bersyukur bisa selamat karena aksi heroik warga sekitar yang
berhasil menghancurkan kaca dengan helm yang ia bawa.
Bersyukur juga karena di tengah kecelakaan seperti itu masih ada
toleransi dan tenggang rasa. Mereka tidak mendahulukan dirinya keluar
dari gerbong. Bayi-bayi terlebih dahulu, dilanjutkan dengan orang-orang
terluka yang bisa didahulukan, baru penumpang yang masih normal.
Itu sesuatu banget buatku. Ternyata kebaikan spontan seperti itu masih ada di bangsa ini.
Hanya saja, sangat sangat aku sayangkan, kenapa pintu gerbong kereta
tidak terbuka dengan sendirinya. Padahal, info yang aku baca mengatakan
kalau mekanisme pintu sudah dibuat agar bisa kebuka dengan sendirinya
ketika terjadi kecelakaan.
Dan sebagai tambahan fitur darurat, jika pintu tidak terbuka dengan
sendirinya, disediakan palu darurat untuk memecahkan kaca. Ini juga
tidak aku dan penumpang di gerbong itu temukan. Dan jika tidak ada warga
yang heroik itu, aku, kami semua yang ada di gerbong itu, sudah menemui
ajal akibat terperangkap karena fitur darurat tidak berfungsi.
Aku tak mau masuk dalam perdebatan ini kesalahan Pertamina atau PT KAI,
karena aku tahu itu hanyalah upaya keduanya untuk membela diri.
Yang aku tahu, sebagai penumpang yang baru saja mengalami kecelakaan,
keselamatan kami amat sangat terancam ketika fitur darurat tak ada yang
berfungsi.
Rasanya ingin berteriak :
“Hei PT KAI ! Fitur Darurat Tak Berfungsi ! Kami Semua Hampir Mati !